Saturday, June 13, 2009

Sikap Keberagamaan Intrinsik dan Ekstrinsik

Tanggal 14 Jun 2009, tatkala selesai solat subuh, mata ana terpaku kepada senarai 'what-to-do list'. Ada 3 tugas besar yang harus ana laksanakan sebelum tiba deadline agar tidak mengundang stress. Pertama, kertas kerja untuk dibentangkan di Bengkel Siswazah Antarabangsa ISDEV. Kedua, persediaan slide presentation untuk kertas kerja yang akan dibentangkan di Seminar Ekonomi Islam anjuran USIM. Ketiga, persediaan untuk dapatan kajian sebenar bagi tesis ana (ini yang paling penting). Daripada ketiga-tiga tugasan ini, entah kenapa hati ana lebih tergerak untuk cakna hal yang pertama.

Ana merenung kembali tajuk kertas kerja ana di INGRAW09. Ada beberapa kata kunci penting yang membina tajuk keseluruhannya, 'Penentu Ekstrinsik Dalam Pemilihan Bank Menurut Perspektif Muslim Yang Ideal: Satu Perbincangan Pakar', iaitu 'ekstrinsik'. Kata kunci ini harus ana fahami sedalam mungkin sama ada secara literal atau harafiah agar kupasannya menjadi tepat dan dapat berhujah secara dialektikal dan saintifik.

Ana cuba melayari internet untuk mendapat lebih banyak takrifan dan perbincangan tentang 'ekstrinsik'. Daripada pelbagai sumber yang ada, ana terjumpa satu tulisan yang agak menarik untuk didiskusikan kita bersama. Tulisan ringkas yang bertajuk 'Sikap Keberagamaan Instrinsik dan Ekstrinsik' oleh Saudara Jalaluddin Rakhmat mengupas secara ringkas maksud beragama secara 'hakikat'. Tulisan beliau berbunyi begini:

Banyak tokoh psikologi bersikap kurang simpatik terhadap tokoh-tokoh agama. William James, misalnya, menganggap tokoh agama sebagai creatures of exalted emotional sensibility, suatu gelar yang panjang dan tidak enak. Menurutnya, para Nabi atau orang-orang suci dihinggapi perasaan yang berlebih-lebihan: melankoli, halusinasi, mendengar suara atau melihat visi dan berbagai karakteristik patologikal lainnya. Sigmund Freud menganggap agama sebagai universal obsessional neurosis. Boisen (Anton T. Boisen) bahkan berteori bahwa sebelum orang menghayati agama lebih baik, ia harus menderita sakit jiwa terlebih dahulu –orang-orang beragama harus melewati tahap skizoprenia lebih dahulu. (Tetapi belakangan saya mendengar bahwa banyak tokoh psikologi, yang memandang tokoh agama sebagai psikopat itu, ternyata menderita gangguan jiwa juga. Menurut Zilboorg sepanjang hidup Freud dihantui oleh death anxiety. Pesimisme dan sikap penyedihnya mencerminkan depressive neurosis. Dan William James, menurut penulis biografinya, ditandai oleh emosi yang tidak stabil. “Oscillation is profoundly characteristic of James’s nature”. Lalu, Boisen pun mengemukakan hipotesisnya justru setelah sembuh dari skizoprenia.

Dua Macam Cara Beragama


Namun, terdapat pula psikologi yang bersifat simpatik terhadap agama. Psikolog itu ialah Gordon W. Allport. Sebelumnya, dianggap tidak ada bukti yang kuat bahwa orang-orang beragama lebih sehat mentalnya daripada orang-orang yang tidak beragama. Tapi, menurut Allport, untuk bisa menyatakan demikian, kita harus mendefinisikan lebih dahulu apa arti beragama. Ada dua macam cara beragama: yang ekstrinsik dan yang intrinsik. Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dimanfaatkan, dan bukan untuk kehidupan, something to use but not to live. Orang berpaling kepada Tuhan, tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri. Agama digunakan untuk menunjang motif-motif lain: kebutuhan akan status, rasa aman atau harga diri Orang yang beragama dengan cara ini, melasanakan bentuk-bentuk luar dari agama, ia puasa, shalat, naik haji, dan sebagainya –tetapi tidak di dalamnya. Kata Allport, cara beragama seperti ini memang erat kaitannya dengan penyakit mental. Saya ingin menyatakan bahwa cara beragama seperti ini tidak akan melahirkan masyarakat yang penuh kasih saying. Sebaliknya, kebencian, irihati, dan fitnah masih akan tetapi berlangsung.

Pada yang kedua, yang intrinsic, yang dianggap menunjang kesehatan jiwa dan kedamaian masyarakat, agama dipandang sebagai comprehensive commitment, dan driving integrating motive, yang mengatur seluruh hidup seseorang. Agama diterima sebagai faktor pemadu (unifying factor). Cara beragama seperti ini, terhunjam ke dalam diri penganutnya. Hanya dengan cara itu kita mampu menciptakan lingkungan yang penuh kasih sayang.

Dimensi Mahapenting Ajaran Allah SWT

Bila Kristen memandang kasih sebagai tonggak agamanya, Islam memandang silaturahim sebagai dimensi mahapenting ajaran Allah. Silaturahim merupakan perintah Allah yang kedua setelah takwa (QS. 4:11). Nabi Muhammad diutus tidak lain untuk menyebarkan rahmat (kasih sayang) kepada seluruh alam (QS. 21:107). Ketika Allah menciptakan kasih sayang, Dia berfirman kepadanya, “Aku ar-Rahman, Aku berikan kepadamu (kepada kasih sayang) Nama-Ku. Barangsiapa menyambungkan engkau Aku pun akan menyambungkan Diri-Ku denganmu. Barangsiapa memutuskan engkau, Aku pun akan memutuskan diriku denganmu.” Ketika suatu hari disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw perihal seorang yang shalat di malam hari, dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lidahnya, Nabi Muhammad menjawab dengan singkat, “Ia di neraka”. Secara ekstrinsik beragama, tetapi secara intrinsik ia tidak beragama. Silaturahim memang tidak bisa dijalin dengan sekian kali lebaran, sekian kali halal bi halal, apalagi sekian menit khotbat.

Thomas Merton, dalam bukunya Mysticism in the Nuclear Age, berkata: “Anda tidak dapat mendatangkan kedamaian tanpa disertai amal shaleh. Anda tidak dapat memperoleh tatanan social tanpa kehadiran kaum mistik, orang-orang suci, dan nabi-nabi.” Di dalam Islam, tidak akan ada nabi lagi, tetapi tidak demikian halnya dengan orang-orang suci. Orang suci adalah manusia takwa yang (tanda-tandanya), menurut Al-Qur’an surat Ali Imran: 134-135 ialah “menafkahkan hartanya dalam suka dan duka, menahan marahnya, memaafkan orang lain, senang berbuat baik, apabila berbuat salah, cepat-cepat ingat Allah dan bertobat atas segala dosanya. Siapa lagi yang mengampuni dosa selain Allah, kemudian tidak mengulangi lagi perbuatan salahnya.” Berdasarkan itu, silaturahim menuntut seseorang agar memperhatikan orang lain dengan infaq, mengendalikan emosi, memaafkan yang berbuat salah, dan sebanyak mungkin mengisi hidup ini dengan kebaikan.

Menurut ana, penulis telah mengetengahkan 3 hal utama. Pertama, terdapat perbezaan yang ketara antara konsep intrinsik dan ekstrinsik. Kedua, intrinsik seharusnya menunjangi ekstrinsik dalam apa jua perbuatan. Ketiga, takrifan intrinsik dan ekstrinsik yang dihujahkan oleh Sarjana Barat harus difahami secara berhati-hati.

Ketiga-tiga hal ini jugalah yang menjadi antara nadi kepada pembentukan satu kerangka konsep daripada tesis ana. Ana berpendapat Islam diturunkan dengan penuh kesempurnaan. Pada ketika manusia itu dihiasi dengan pelbagai spesifikasi (keperluan dan kehendak), kesemua itu adalah fitrah. Tidak lain dan tidak bukan, persis alat untuk meraih kebergantungan rohani dan jasmani antara seorang hamba dengan khaliknya.

Justeru, ana bersetuju dengan keseluruhan pandangan penulis. Walau bagaimanapun ana berpendapat ada sisi yang tidak disentuh. Sama ada intrinsik atau ekstrinsik, kedua-duanya perlu bersandarkan kepada al-Quran dan al-Hadith. Ertinya, meskipun ekstrinsik itu neutral pada sifatnya, ia seharusnya ditunjangi iman, amal dan akhlak supaya natijahnya mendatangkan kesan yang baik tidak hanya kepada individu tetapi juga masyarakat.

Perkara inilah yang akan ana kupas dan garap di dalam kertas kerja ana dengan tumpuan kepada dapatan temubual bersama pakar-pakar Perbankan dan Kewangan Islam yang terdiri daripada tokoh agama, pengamal, perunding dan ahli akademik.

No comments:

Post a Comment